Kemendag Bersama Deddy Sitorus Sosialisasikan Hasil Review Border Trade Agreement di Kaltara

redaksi

Ads - After Post Image

Kaltaraa1.comTANJUNG SELOR – Kementerian Perdagangan (Kemendag) Republik Indonesia menggelar Sosialisasi Pemanfaatan Hasil-Hasil Perundingan Perdagangan Internasional di Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara (26/11).

Sosialisasi ini menggandeng Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ir. Deddy Yevfri Hanteru Sitorus yang sekaligus legislator Senayan daerah pemilihan (dapil) Kaltara.

Hasil perundingan perdagangan internasional yang disosialisasikan adalah Review Border Trade Agreement (BTA) atau perjanjian perdagangan lintas batas antara Indonesia dengan Malaysia.

Negosiator Ahli Madya Kemendag RI, Jefry Zakaria menjelaskan, perjanjian BTA ditandatangani Pemerintah Indonesia dan Malaysia pada tahun 1970. Perjanjian ini salah satunya diterapkan di daerah perbatasan Kalimantan Utara, khususnya di Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Malinau.

“Secara teknis, BTA 1970 ini masih berlaku sampai tahun 2023 ini,” kata Jefry.

Namun demikian, Pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menandatangani dokumen Review BTA pada tanggal 8 Juni 2023. Penandatanganan diwakilkan oleh Menteri Perdagangan dan Menteri Investasi di Putrajaya, Malaysia.

“Penandatanganan ini disaksikan oleh Presiden Republik Indonesia dan Perdana Menteri Malaysia,” ujarnya.

Jefry mengungkapkan, Review BTA akan menggantikan BTA 1970. Ratifikasi atau pengesahan terlebih dahulu akan menggunakan Peraturan Presiden (Perpres). Instrumen Perpres telah masuk dalam Program penyusunan tahun 2024.

“Pemerintah menargetkan Review BTA ini diimplementasikan pada awal tahun 2024,” jelasnya.

Dalam rangka tersebut, Kemendag RI telah melakukan rangkaian koordinasi internal antar kementerian/lembaga dalam rangka pemenuhan persyaratan sesuai Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000.

“Prosedur internal di Malaysia terkait Review BTA ini sudah selesai, melalui nota diplomatic nomor AT 359/2023 tanggal 20 Juli 2023,” ujarnya.

Mengenai substansi perubahan dalam Review BTA Indonesia – Malaysia, Jefry menjelaskan ambang batas nominal pembelian masih tetap, yakni RM600 per orang per bulan. Adapun perubahan terjadi pada barang yang dapat diperdagangkan.

Sebelumnya, masyarakat di Kaltara dalam BTA 1970 berhak menjual semua produk pertanian dan produk lainnya, kecuali mineral oil dan ores (pasir, tanah atau batuan yang mengandung cukup mineral untuk diolah menjadi besi, baja, tembaga, emas dan lainnya).

Sementara itu, Malaysia dapat menjual barang-barang konsumsi, kebutuhan sehari-hari, termasuk peralatan rumah tangga dan perkakas yang dibutuhkan oleh industri.

Adapun, dalam Review BTA terdapat pengklasifikasian lebih teknis terkait barang yang dapat diperjualbelikan. Masyarakat Indonesia, khususnya Kaltara, dapat menjual 60 jenis barang, sementara dari Malaysia dapat menjual 32 barang.

“Ketentuan yang berlaku untuk setiap produk akan dibahas lebih lanjut pada Committee on BTA,” paparnya.

Lebih lanjut mengenai titik pintu masuk dan keluar perdagangan atau entry/exit point, sebelumnya di Kaltara termasuk Kalimantan Timur ada tujuh titik berdasarkan Border Crossing Agreement (BCA) 1967.

“Apabila mengacu pada hasil Review BCA, di Kaltara hanya ada 1 distrik, yakni di Nunukan. Sementara di Malaysia aada 9 distrik di Sarawak dan 4 distrik di Sabah,” ujarnya.

Anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Ir. Deddy Yevfri Hanteru Sitorus dalam paparannya mengungkapkan, perdagangan perbatasan lintas batas di Kaltara masih memiliki sejumlah tantangan. Selain itu, masih menjadi masalah klasik perihal status ilegal terhadap barang yang diperjualbelikan.

Menurut Dedyy, permasalahan tersebut ditengarai sejumlah faktor. Yakni pengawasan dari lembaga terkait belum optimal, kebutuhan pokok masyarakat tidak maksimal tersedia, pedagang lokal tidak mampu memenuhi persyaratan perdagangan di dalam dan luar negeri, banyaknya jalan tikus di sepanjang perbatasan dan kualitas barang luar negeri lebih bagus dari barang lokal.

Berkenaan dengan itu, Deddy meminta pemerintah bisa menerapkan sejumlah langkah strategis. Dimulai dengan mendorong penguatan industri berbasis ekspor melalui pemetaan produk unggulan dan produk potensial. Kemudian, melakukan penguatan industri manufaktur dan meningkatkan kualitas produk daerah.

“Pemerintah juga masih penting untuk melakukan pembangunan dan perbaikan berbagai infrastruktur dan akses transportasi. Terakhir, pemerintah dari pusat sampai daerah harus menciptakan iklim ekonomi kondusif dan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan,” paparnya.

Sementara itu, adanya pembaharuan BTA diharap didukung dengan tersedianya fasilitas penunjang dari pemerintah. Pemerintah perlu mewujudkan implementasi pembaharuan BTA yang menguntungkan masyarakat Indonesia, khususnya di Kaltara.

Pemerintah diingatkan melakukan komunikasi terus-menerus secara jelas dan konsisten kepada masyarakat; memenuhi kebutuhan sumber daya yang memadai; menciptakan kesamaan pemahaman, kemauan, dan semangat aparat pemerintah; serta adanya kejelasan wewenang dan tanggung jawab agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

“Pemerintah juga perlu membentuk kemandirian masyarakat perbatasan dengan melakukan pengembangan jiwa kewirausahaan masyarakat, sehingga lebih kreatif, inovatif, memanfaatkan peluang, berani menghadapi risiko, dan bekerja keras, serta secara simultan melakukan penyediaan dan distribusi barang kebutuhan pokok yang memadai dan terjangkau dari wilayah Indonesia,” pungkasnya. (*)

Bagikan:

Ads - After Post Image

Topik

Tinggalkan komentar