Kaltaraa1.comTANJUNG SELOR – Kabupaten Bulungan akan memasuki usia ke-63 tahun pada pekan ini, tepatnya tanggal 12 Oktober 2023. Menjelang tanggal tersebut, DPRD menggelar rapat paripurna istimewa dalam rangka peringatan hari jadi yang dihadiri kepala daerah dan jajaran lembaga eksekutif.
Dalam setiap rapat paripurna istimewa diawali dengan pembacaan sejarah terbentuknya dan perjalanan Kabupaten Bulungan dari masa ke masa. Pada tahun ini, sejarah Kabupaten Bulungan dibacakan Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Bulungan, Hamka.
Dari dokumen yang didapatkan, media hendak menyajikan potret ringkas dari sejarah tersebut untuk diketahui masyarakat luas. Pengetahuan ini menjadi semakin penting karena Bulungan merupakan induk dari seluruh kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Utara ini. Kabupaten Bulungan bahkan pada dasarnya adalah cikal bakal provinsi ke-34 Indonesia ini.
Pada awalnya, legenda yang berkembang di Bulungan mengisahkan asal muasal suku Bulungan dari sepotong bambu atau bulu tengon dan sebiji telor yang ditemukan oleh seorang tetua desa yang bernama Ku Anyi.
Meski sudah tua, dia bersama isteri belum juga dikaruniai anak. Bambu dan telor tersebut ditemukan saat ia sedang berburu di hutan, tepatnya di atas pohon jemlai. Bulu tengon dan telor tersebut dibawa pulang.
Keesokan harinya, bulu tengon berubah wujud menjadi bayi laki-laki dan telur berubah menjadi sosok bayi perempuan yang cantik. Bayi laki-laki diberi nama Jau Iru dan perempuannya diberi nama Lemlaisuri.
Setelah keduanya dewasa, berdasarkan wangsit yang diterima oleh ku anyi dan isterinya kemudian kedua makhluk tadi dikawinkan. Setelah Ku Anyi wafat, Jau Iru oleh masyarakat didaulat menjadi pemimpin mereka yang baru. Pernikahan keduanya tadi melahirkan anak bernama Paren Jau, yang kemudian menggantikan posisi ayahnya setelah sang ayah wafat.
Perkembangan selanjutnya paren jau digantikan oleh anaknya yang bernama Paren Anyi, yang kemudian digantikan pula oleh puterinya yang bernama Lahai Bara yang pekuburannya ada di desa Long Pelban Kecamatan Peso.
Lahai Bara mempunyai dua orang anak, anak laki-laki bernama Sadang dan perempuannya bernama Asung Luwan. Sadang tewas saat desanya mendapat penyerangan oleh suku kenyah dari serawak pimpinan Sumbang Lawing.
Asung luwan melarikan diri ke pedesaan di hilir sungai kayan yang kemudian bertemu dengan Datu Mencang, seorang perantauan dari Kerajaan Brunei yang mencari tanah baru untuk membangun kerajaannya.
Perpaduan kedua anak manusia yang berbeda jenis ini melahirkan benih-benih cinta, namun Asung Luwan memberi syarat kepada Datu Mencang sebelum menikahinya agar terlebih dahulu mengalahkan Sumbang Lawing. Sesuai syarat yang diajukan, dalam sebuah pertarungan adu ketangkasan pada akhirnya sumbang lawing berhasil dikalahkan. Kemudian Datu Mencang dan Asung Luwan pun bisa melangsungkan pernikahan, yang akhirnya melahirkan suku Bulungan ini.
Datu mencang yang memimpin suku bulungan ini bergelar Ksatria Wira (1555-1595), sejak itu islam berkembang di daerah ini yang pusat pemerintahannya di Busang Arau. Datu Mencang ini kemudian menikahkan anaknya yang bernama Kenawai Lumu dengan bangsawan Kesultanan Sulu, Philipina Selatan, dan kemudian menyerahkan kekuasaan kepada menantunya Singa Laut (1595 – 1631). Selanjutnya dari sinilah kekuasaan kesultanan di bulungan ini berlangsung secara turun temurun, mulai dari Wira Kelana, Wira Keranda dan Wira Digedung yang diteruskan Wira Amir (tahun 1731–1777).
Memasuki masa Kesultanan Bulungan, sebelum masa Wira Amir memerintah, gedung pusat pemerintahan telah dipindahkan dari Busang Arau ke Kawasan Limbu. Pada saat itu Wira Amir tampil menjadi pemegang puncak pimpinan, dan dimulailah babak sejarah Kesultanan Bulungan dengan dinobatkannya Wira Amir menjadi Sultan pertama dengan gelar Sultan Amiril Mukminin.
Pada masa kepemimpinan Wira Amir, pusat pemerintahan kembali berpindah ke Salimbatu yang pada saat itu berfungsi sebagai pusat pengembangan agama Islam. Pada tahun 1777, Wira Amir digantikan oleh Aji Ali yang dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Alimuddin, dan memindahkan pusat pemerintahan dari Salimbatu ke Tanjung Palas. Dengan pertimbangan Salimbatu ingin dikonsentrasikan sebagai lahan persawahan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang semakin bertambah.
Masa pemerintahan Aji Ali berakhir pada tahun 1817, digantikan oleh Aji Muhammad dengan gelar Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin. Di masa pemerintahannya sektor perdagangan mulai berkembang, serta semakin banyaknya suku-suku dan bangsa lain untuk berniaga di Bulungan, seperti Bugis, Banjar, Arab dan Cina. Sementara itu penjajah Belanda yang menempatkan posnya di Tanjung Selor, mulai memaksakan kehendaknya dalam berniaga, karena memiliki tentara yang kuat.
Pada tahun 1861, Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin mengundurkan diri dan mengangkat puteranya Muhammad Djalaluddin menjadi sultan. Tapi kesultanan Muhammad Djalaluddin tidak bertahan lama dan hanya berlangsung selama 6 tahun (1861 – 1866) kemudian Muhammad Amiril Kaharuddin kembali naik tahta, sampai ia digantikan oleh Datu Alam pada tahun 1873 – 1875 yang dinobatkan dengan gelar Sultan Khalifatul Alam Muhammad Adil.
Selama menjadi sultan, Datu Alam sempat merenovasi Masjid Jami Tanjung Palas dan membangun istana baru yaitu Istana II yang letaknya di sebelah hilir istana lama, selain itu tindakannya yang berani adalah mengesampingkan seluruh perjanjian yang pernah dibuat oleh Kesultanan Bulungan dengan pihak Belanda.
Pengganti Datu Alam adalah Ali Kahar dengan gelar Sultan Kaharuddin II yang bertahta hingga tahun 1889. Selanjutnya, beliau digantikan oleh Sultan Azimuddin, dimana penobatannya mendapat pengesahan dari Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta (Batavia) melalui surat keputusan tanggal 4 Desember 1889. S
Selama memerintah Sultan Azimuddin terkenal dengan kebijakannya, seperti menjalankan misi sosial bagi kepentingan rakyatnya dan meredam pergolakan. Setelah Sultan Azimuddin wafat pada tahun 1899, sempat terjadi kekosongan kepemimpinan, dikarenakan putera tertua sultan, Datu Belembung belum cukup umur untuk dinobatkan menjadi sultan.
Untuk itu maka Putri Sibut (Pengian Kesuma) naik tahta dibantu oleh Datu Mansur. Tiga Tahun kemudian tahun 1901 barulah Datu Belembung dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Maulana Muhammad Kasim Al’din, disingkat Sultan Kasimuddin.
Datu Belembung sendiri memiliki dua orang saudara, yakni Datu Tiras dan Datu Muhammad. Sultan Kasimuddin juga terkenal dengan kebijakannya yang menentang colonial Belanda. Setelah mangkat pada tahun 1925, pemangku jabatan dipegang oleh Datu Mansur (1925 – 1930).
Putera pertama Sultan Kasimuddin, bernama Akhmad Sulaiman yang dipanggil pulang ke Bulungan karena sebelumya menuntut ilmu di Sumatera dan telah beristrikan Ratu Tengku Lailah Sayfinah, Puteri Raja Langkat, dinobatkan menjadi sultan selanjutnya, namun hanya bertakhta selama 9 bulan (1930 – 1931) karena meninggal dunia.
Sebagai pengganti Sultan Akhmad Sulaiman, pada tahun 1931 adik sultan Kasimuddin, Datu Tiras dinobatkan dengan gelar Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin. Pada masa pemerintahannya, sempat dibangun sebuah istana baru, yaitu istana III di komplek Istana Kesultanan Bulungan.
Ketika berkuasa, Sultan Djalaluddin sempat dianugerahkan oleh Ratu Wihelmina (Belanda) dengan gelar Letnan Kolonel Tituler, dan sebagai luapan kegembiraan atas penghargaan tersebut, sultan menyelenggarakan Birau selama 40 hari 40 malam, dari sinilah istilah Birau mulai dikenal dan dipopulerkan hingga saat ini, dalam rangka memperingati hari jadi Kota Tanjung Selor dan Kabupaten Bulungan.
Walaupun dianugerahi gelar oleh Ratu Wihelmina, sultan sangat jelas tetap mendukung perjuangan Indonesia untuk merdeka. Hal ini dibuktikan Sultan dengan senantiasa mengutus menteri pertamanya yaitu Datu Bendahara Paduka Raja menghadiri pertemuan – pertemuan dalam memperjuangkan kepentingan Republik Indonesia diberbagai forum.
Seperti halnya pada konferensi meja bundar di Malino (Makassar, Sulawesi Selatan), Datu Bendahara Paduka Raja tidak hanya mewakili Bulungan dan Tidung, tapi juga mewakili Kesultanan Gunung Tabur di Berau.
Semangat untuk merdeka itu menjadi nyata pula dengan dilaksanakannya upacara pengibaran bendera merah putih untuk pertama kalinya dihalaman Istana Kesultanan Bulungan Tanjung Palas pada tanggal 17 Agustus 1949 pukul 07.00 Wita yang dipimpin langsung oleh Sultan Muhammad Maulana Djalaluddin.
Sultan Muhammad Maulana Djalaluddin inilah yang merupakan Sultan Bulungan terakhir dan kepala daerah Bulungan pertama, didahului oleh Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Timur No.1886/Orb/92/1950 bahwa kedudukan Kesultanan Bulungan ditetapkan sebagai wilayah swapraja, kemudian keputusan gubernur tersebut disahkan menjadi Undang- Undang Darurat RI No. 3 Tahun 1953.
Dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1955 wilayah Kesultanan Bulungan di tetapkan sebagai daerah istimewa, saat itulah Sultan Maulana Djalaluddin menjadi Kepala Daerah Bulungan pertama sampai akhir hayatnya di tahun 1958.
Pada tahun 1959 status daerah istimewa ditetapkan lagi menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 1959. Bupati Kepala Daerah yang pertama adalah Andi Tjatjo Datuk Wihardja pada tahun 1960 hingga tahun 1963.
Cikal bakal otonomi daerah dari Kabupaten Bulungan dimulai pada pemerintahan Kolonel R. A Bessing tahun 1995-2000. R.A Bessing mencatat sejarah baru Kabupaten Bulungan dengan tejadinya pemekaran 3 daerah yaitu, Kotamadya Tarakan, Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan.
Kebijakan ini merupakan wujud kepedulian dan tanggung jawab beliau sebagai kepala daerah dalam usaha untuk mempercepat pembangunan di tiga daerah pemekaran, juga sebagai usaha mendekatkan pelayanan kepada masyarakat di daerah-daerah pelosok demi tercapainya kesejahteraan.
Selanjutnya, pemekaran wilayah terjadi di masa pemerintahan Drs. H. Budiman Arifin, M.Si dan Dr. Drs. Liet Ingai, M.Si. Yakni pada periode 2005-2010 dan periode kedua tahun 2010-2015. Keduanya merupakan sosok putra-putra terbaik Kabupaten Bulungan sebagai Bupati dan Wakil Bupati yang pertama kali dipilih secara langsung oleh rakyat untuk memimpin Kabupaten Bulungan.
Dimasa pemerintahannya, pemekaran Kabupaten Tana Tidung sebagai daerah otonomi baru dapat direalisasikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 tentang Pemekaran Kabupaten Tana Tidung.
Bahkan peran serta beliau berdua dalam proses terbentuknya Provinsi Kalimantan Utara yang menjadi impian masyarakat Kalimantan bagian utara. Berdasarkan pertimbangan historis, keamanan dan pengembangan wilayah, Bupati Bulungan bersama DPRD Kabupaten Bulungan dan semua elemen memperjuangkan Tanjung Selor sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Utara.
Di mana pada akhirnya pada tanggal 25 Oktober 2012, disahkan oleh DPR-RI Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara serta penunjukkan Tanjung Selor sebagai Ibukota Provinsi Kalimantan Utara.(ag)
- Kabupaten Bulungan pada awalnya memiliki wilayah yang mencakup seluruh kabupaten/kota dan Provinsi Kalimantan Utara.
- Kabupaten Bulungan pada awalnya merupakan salah satu daerah di Provinsi Kalimantan Timur.
- Pemekaran wilayah di Bulungan dimulai pada masa pemerintahan Kolonel RA. Bessing (1995 – 2000)
- Pemekaran Kotamadya Tarakan diresmikan pada tahun 1997
- Pemekaran Kabupaten Malinau diresmikan pada tahun 1999
- Pemekaran Kabupaten Nunukan diresmikan pada tahun 1999
- Pemekaran wilayah dilanjutkan pada masa pemerintahan Drs. H. Budiman Arifin, M.Si Dan Dr. Drs. Liet Ingai, M.Si. (2005 – 2010 dan 2010 – 2015)
- Pemekaran Kabupaten Tana Tidung diresmikan pada tahun 2007
- Pemekaran Provinsi Kalimantan Utara diresmikan pada tahun 2012. Tahun ini menjadi momen perpisahan Kabupaten Bulungan dan daerah pemekarannya dari Kalimantan Timur.