kaltaraa1.comNunukan – Maraknya kasus pencabulan hingga kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang terjadi di Kabupaten Nunukan menjadi perhatian serius oleh Tamara Moriska selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara).
Sejatinya, upaya Pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap anak dan perempuan telah dilakukan hal ini dari berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Tamara mengatakan, untuk Kabupaten Nunukan sendiri, telah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2015 tentang perlindungan anak dan perempuan. Bahkan Pemerintah Provinsi Kaltara juga telah menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Kaltara Nomor 1 tahun 2021 tentang perlindungan Perempuan dan Anak.
“Perda sebenarnya sudah ada, hanya saja untuk Perda Nunukan sendiri perlu dilakukan revisi karena harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman sekarang,” kata Tamara kepada benuanta.co.id.
Diungkapkannya, upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak harus menjadi perhatian bersama baik pemerintah, Aparat Penegak Hukum (APH) dan seluruh elemen masyarakat untuk memberikan rasa aman dan perlindungan baik dari tindak kekerasan fisik, seksual, verbal dan diskriminasi.
Menurutnya, selama ini para korban hanya bisa diam dan tidak berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya lantaran tidak adanya dukungan dari lingkungan sekitar. Belum lagi, dikalangan masyarakat, perbuatan pelecehan dianggap sebagai sebuah aib yang harus ditutupi.
Padahal, para korban yang mengalami pelecehan dan kekerasan seksual akan mengalami trauma dan menutup diri dari lingkungannya. Sehingga, harus mendapatkan pendampingan secara psikologis untuk memulihkan rasa trauma yang dialaminya.
“Para korban kekerasan seksual di Nunukan ini mulai berani memberanikan diri untuk melapor itu setelah korban kasus pelecehan Disdukcapil Nunukan speak up ke media,” ucapnya.
Tamara mengatakan, mirisnya kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Nunukan dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti persentuhan yang dilakukan olah bapak kandungnya sendiri, bapak tiri, saudara tiri, kakak ipar.
Menurutnya, ini merupakan permasalahan serius sehingga harus ditangani dengan serius oleh Pemerintah daerah melalui Dinas sosial Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan dan Anak (DSP3A) Nunukan.
“Ini PR kita bersama, katanya Indonesia mau menuju Indonesia emas tapi bagaimana bisa kita menjadi emas ketika anak-anak muda kita dirusak,” ujarnya.
Dikatakannya, penegakan kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan harus ditegakkan. Tamara juga menyoroti kasus-kasus kekerasan seperti ini yang berakhir damai. Padahal, menurutnya kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak bisa diselesaikan secara Restorative Justice (RJ).
“Kasus kekerasan seksual seperti ini tidak boleh berakhir damai meskipun korban bersedia mencabut laporannya tapi aparat penegak hukum harus tetap melanjutkan kasus tersebut,” terangnya.
Tamara juga berharap, Dinas terkait harus gencar memberikan sosialisasi baik dilingkungan sekolah maupun langsung ke masyarakat terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“DSP3A Nunukan harus terus melakukan sosialisasi dan membuka layanan informasi dan laporan pengaduan. Saya juga berharap masyarakat khususnya korban yang mengalami pelecehan ataupun kekerasan harus berani melaporkan ke pihak berwajib maupun ke Dinas terkait,” pungkasnya. (adv)