Kepala DLH Kaltara Menjawab Lugas Tudingan Negatif Kepada Gubernur Kaltara.

redaksi

Kaltaraa1.com, Tanjung Selor – Menyimak isi pemberitaan yang bersumber dari media online infoindo.co.id tentang skandal korupsi yang menyeret nama Gubernur Kalimantan Utara (Kaltara), Dr. H. Zainal A Paliwang, S.H., M.Hum. dalam kasus penyalahgunaan dana hibah dari Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltara kepada Benuanta Kaltara Jaya (BKJ).

Dalam rilisnya disebutkan bahwa kasus yang telah inkrah ini merupakan kasus korupsi yang menjerat Direktur Utama PT BKJ Haeruddin Rauf dan almarhum mantan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltara, Drs. Hamsi, S.Sos., M.T.

Menyikapi isi pemberitaan terkait preseden buruk bagi DLH Kaltara pada peristiwa silam dimaksud, Kepala DLH kaltara, Hairul Anwar, S .Hut., M.AP dalam wawancaranya menuturkan bahwa pihaknya, Pemerintah Provinsi, baik DLH maupun Gubernur menganggap tidak ada hal yang urgent untuk diklarifikasi, sebab menurutnya definisi klarifikasi itu konotasinya ketika terjadi masalah (07/08/2025).

“Saya sebenarnya malas menggubrisnya, karena saya anggap ini tidak penting. Tapi karena wawancara ini ibaratnya main todong, tiba-tiba saya didatangi dan ditembak pertanyaan, saya jawab sesuai hasil keputusan inkrah saja. Jadi, klarifikasi itu diperlukan jika dianggap ada masalah, jadi kalau tidak terjadi masalah, lantas apa yang harus diklarifikasi,” kata Hairul dikutip dari laman www.kaltaraberkisah.com.

“Hanya sebagai bahan edukasinya adalah bahwa subtansi atas hibah kepada BUMD itu diperbolehkan sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 12 tahun 2019 yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sebagai turunan dari Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara,” lanjutnya.

Ucap Hairul melanjutkan, sekarang tinggal bagaimana pertanggungjawabannya jika terjadi tindak pidana hukum. Siapa yang punya mainstream dan siapa-siapa pihak yang terlibat di dalamnya. Kalau mengacu pada UU 17/2003, maka Presiden tidak bisa disalahkan jika terjadi kejadian penyelewengan hibah. Merujuk pada hal ini, Gubernur sebagai pemangku kebijakan, sama halnya dengan Presiden. Dalam bahasa hukumnya ‘The king can do no wrong’, artinya ‘Raja tidak dapat berbuat salah’ atau ‘Raja tidak dapat melakukan kesalahan’.

Baca Juga  Dispora Optimis Atlet Kormi Kaltara Bakal Tabur Medali di Fornas VIII NTB

“Namun memang siapa pun yang terlibat di dalamnya, tidak ada yang boleh merasa kebal hukum, termasuk Presiden, tanpa kecuali jika itu bisa dibuktikan aliran dana kemana saja, baik itu sukarela ataupun paksaan. Saya kasih bocoran sedikit, dana hibah yang disalah dugakan itu tidak langsung ke BKJ kok, tetapi anggarannya ada di DLH. DLH yang menyerahkan anggaran tersebut. Jadi penganggaran hibah uang kepada BKJ, itu direncanakan dan dianggarkan oleh DLH.

Di samping itu, ada tertulis hasil temuan BPK yang kemudian terbit bukti surat perintah tertulis Gubernur kepada Kepala DLH, berisi atensi agar lebih cermat dan ekstra hat-hati dalam mengambil sikap dan mengeluarkan keputusan yang nantinya akan berujung pada perbuatan yang sifatnya secara melawan hukum,” lanjutnya lagi mengungkapkan.

Dijelaskan Hairul, Presiden, di mata hukum itu sama seperti warga negara lainnya, tunduk pada hukum yang berlaku. Jika seorang presiden diduga melakukan tindak pidana, Ia dapat diproses sesuai dengan hukum yang berlaku, termasuk kemungkinan pemakzulan (impeachment) jika memenuhi syarat yang diatur dalam UUD 1945.

“Jadi ungkapan raja tidak boleh salah, itu tidak sepenuhnya benar dalam konteks hukum modern, karena raja atau kepala negara tetap tunduk pada hukum dan dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan yang melanggar hukum,” terang Hairul.

“Hibah yang bersifat untuk tujuan mempercepat atau tujuan kemaslahatan, itu tidak bisa disangkakan, kecuali jika ada unsur seperti yang saya jelaskan tadi,” imbuhnya menerangkan.

Dikatakan Hairul, berdasarkan PP Nomor 12 tahun 2019 pasal 4 bahwa dalam melaksanakan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah, kepala daerah melimpahkan sebagian atau seluruh kekuasaannya yang berupa perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pertanggungjawaban, dan pelaporan, serta pengawasan keuangan daerah kepada pejabat perangkat daerah, yaitu salah satu Kepala SKPD selaku PA (pengguna anggaran). “Jadi dia yang bertanggungjawab mutlak selaku Kepala SKPD,” ucapnya.

Baca Juga  Bansos PKH di Kaltara Tersalurkan Dengan Sukses dan Lancar

Sambungnya lagi mengatakan, berdasarkan Permendagri 77 tahun 2020, penganggaran belanja hibah, baik berupa uang atau barang dan jasa, itu dianggarkan pada SKPD terkait, dan dirinci menurut objek, rincian objek, dan sub rincian objek pada program kegiatan dan sub kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi perangkat daerah terkait.

Menurut Hairul, bahwa kasus ini tidak perlu lagi mendapat tanggapan yang terlalu serius atas segala layangan dugaan atau bahkan tudingan yang sifatnya terkesan hanya mencari-cari kesalahan semata, karena kasus ini telah dinyatakan inkrah oleh pengadilan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Samarinda, Kalimantan Timur.

“Yang utama harus digaris bawahi, perlu saya tegaskan bahwa keputusan ini telah dinyatakan inkrah di Pengadilan, makanya tadi saya bilang tidak perlu direspon atau memerlukan klarifikasi lagi, karena keputusan inkrah ini mengikat, maka otomatis telah menjawab secara keseluruhan, itu jawaban total dari segala dugaan-dugaan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum,” tegas Hairul menuturkan.

Hairul juga menegaskan bahwa secara kode etik sikap pemerintah tidak boleh basa-basi yang berakibat pada potensi melemahkan produk hukum.

“Kita paham, tentu tidak semua pihak bisa merasa terpuaskan. Pro dan kontra itu biasa, itu sudah dinamika hukum alam, jadi tidak perlu kita berlama-lama tenggelam hanya karena mempersoalkan apa yang sudah menjadi fitrah alam. Toh kami juga tidak bisa memaksakan warna baju orang lain harus sama dengan warna baju kami, dalam arti kami tidak bisa menuntut setiap orang harus sepemikiran dengan kami, memaksa semua orang harus pro dengan kami. Justru itu tidak mencerminkan ciri pemerintah yang baik,” ucap Hairul menjelaskan.

Baca Juga  Disperindagkop Kaltara Menilai Perputaran Uang Paling Cepat di UMKM 

Dipertegasnya lagi, sebagai lembaga pemerintah harus saklek dalam menunjukkan sikap yang menjadi simbol pandangan hukum. Sikap pemerintah harus konsisten tegak lurus pada prinsip-prinsip hukum. “Jika sudah diputuskan inkrah, ya sudah, sikap pemerintah tidak lagi diperbolehkan untuk belok-belok tanpa arah yang jelas. Kami tidak boleh menunjukkan sikap hukum yang dikhawatirkan malah terkesan blunder pada putusan yang telah inkrah,” ujar Hairul menerangkan.

Hairul juga berujar, bahwa tidak halal lembaga pemerintah itu memuntahkan narasi-narasi yang pada prinsipnya telah terjawab secara menyeluruh dan utuh melalui putusan inkrah. Sehingga, melakukan tindakan klarifikasi oleh pihak pemerintah atas putusan inkrah itu malah terkesan merendahkan atau meragukan segala putusan-putusan legal hukum yang diterbitkan secara sah oleh lembaga yang berwenang.

Tidak hanya putusan lembaga Pengadilan saja, tetapi warna sikap pemerintah itu harus menghormati ketetapan-ketetapan semua lembaga yang diakui oleh negara dan diberikan kewenangan-kewenangan khusus untuk mengeluarkan segala produk-produk yang dibidanginya sesuai Tupoksinya dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

“Saya pikir ini sudah clear and clean ya. Kalau ini kami gubris, sibuk klarifikasi, yang ada malah terkesan pembenaran. Dan tentu justru akan menjadi tidak etis, karena secara implisit itu sama halnya dengan meragukan produk pengadilan, dengan kata lain tidak menghormati putusan hukum. Kami ini lembaga pemerintah, sehingga harus punya sikap yang jelas warnanya, sikap yang tidak boleh ambigu dalam menjunjung nilai-nilai hukum,” tutupnya.

Sumber : Kaltaraberkisah.com

Bagikan:

Ads - After Post Image

Topik

Ads - Before Footer